Jumat, 05 Juni 2020

PENGALAMAN YANG MENGAJARKAN AKU HIDUP

Tak mudah untuk gadis enam belas tahun jauh dari keluarga. Aku anak ke empat dari tujuh bersaudara anak paling tengah biasanya identik dengan perbedaan jalan hidup tak sama dengan yang lainnya yang lahir sehat. 
Tidak dengan aku yang dirundung kemalangan sejak keci. Sejak kecil aku kerap sesak napas tanpa sebab. Jika sakit lama sekali pulihnya. 

Aku masuk sekolah SD tujuh tahun pada masa itu cukup sulit tanganku harus bisa menyentuh telinga kanan menyentuh telinga kiri. Saat itu aku baru bangun dari sakit jadi cukup sulit menyentuh telinga di karenakan kaku hingga tangan tidak begitu aktif. Aku sakit hampir satu tahun sebelum masuk sekolah. 
 
Ayah memboyong kami pindah berharap aku bisa sembuh total jika pindah dari Cilacap ke Ciamis di usiaku dua tahun. Di Ciamis Ayah membeli ladang cukup luas di penuhi pohon nanas dan salak," katanya. 
Sepertinya ayah tidak berbohong pada kami aku pun masa kecilnya sempat menyaksikan sediri ketika kami tumbuh dan mulai mengingat segala yang terjadi di sekitarku. 

Nanas pula yang meracuniku hingga berkali-kali keracunan padahal yang di tanam nanas Bogor dan Palembang yang terkenal manisnya. Sampai sekarang pun tidak begitu menyukai buah itu. 
"Entah kenapa?"

Usia sekolah aku medaftar tanpa kartu kelahiran atau identitas lain seperti sekarang. Dalam sejarah sekolahku aku paling bodoh sebentar-sebentar sakit membuat kurang berpikir bahkan lambat dalam segala hal. Pada suatu hari aku sakit demam hingga menyebabkan kulitku bernana di bagin kulit dada dan kaki. Jika sekarang mungkin bisa di katakan cacar karena meninggalkan bekas di kulitku. 

Kemiskinan dan fasilitas yang jauh dari kota membuatnya sulit mendapatkan pengobatan tapi ada yang suka memeriksa darah keliling biasanya di tusuk lalu di teteskan ke kaca yang sudah di bentuk kecil-keci. Aku tinggal di daerah terpencil dan tertinggal di masanya keluargaku mendapat bantuan desa tertinggal berupa beras, kambing dan sapi. Meski kami miskin tapi tak kekurangan makanan karena ibu seorang penjual kue di pasar. Setelah sholat subuh ibu meninggalkan kami yang masih lelap hanya kaka yang di bangunkan untuk sholat subuh dan mengunci pintu. Kunci rumah kami pun sederhana yang di buat dari kayu di paku.

Gunung galunggung meletus sekolah kami libur melihat daun-daun semplak menahan bobot debu. Namun keluarga tak pernah kekurangan makanan. 
Ayah menggarap ladang sangat luas menanam berbagaimacam, padi, jewawut, jagung putih, sorhum ketan non ketan. Yang ketan biasanya lebih lengket bisa di buat kue onde-onde yang non ketan bisa dibuat bubur sebagai penambah protein. 

Waktu terjadi gerhana bumi menjadi gelap Ibu menyalakan dian kami di suruh ngumpet di kolong. Suara ayam jago berkoko layaknya fajar terdengar di telingaku. 
"Aku ingin melihat matahari kawin, Bu," ucapku nyeleneh. 
"Nggak boleh nanti kulitnya hitam kaya comong," sergahnya sambil menyuruhku ngumpet lagi. 
"Sungguh takhayul bagiku sekarang namun dahulu tak bisa membantah ucapan yang seakan benar adanya.
Alam menjadi terang benderang tak kala gerhana selesai kami keluar kolong bersuka ria. 
"Nie ibu rebusin telur sana makan dengan adikumu." 
"Empat-empatnya untuk aku sama adik, Bu?" tanyaku. Adiku sangat rakus hingga punyaku di ambil pula olehnya. Aku mengejarnya sambil berteriak sampai aku tersedak tak bisa bernapas. Tetangga berkerumun bertangisan menangisi aku yang tegolek. Aku sadar dan melihat mereka menangis tapi kondisiku tak bisa bicara. Butuh waktu untuk normal kembali. 

Kelas tiga aku harus pidah ke sekolah baru tapi aku tidak mau bahkan teman dan guru-guruku mengantar kepindahanku besoknya aku kembali sendirian. Dari sini aku pisah dengan teman-teman sedesaku. Tiap hari aku berangkat sendirian kesekolah yang jaraknya enam kilo. Pagi sekali menerobos kabut berangkat sekolah di cuaca dingin. Setelah pergantian wali kelas aku ikut segala lomba yang diadakan tingat sekolah. Pertama lomba nyanyi lagu wajib tingkat kecamatan dan tingkat kapupaten juara satu dan dua. Mulai ikut jambore di di kelas lima meski bodoh dalam peajaran tapi aku tangkap dalam kegiatan lain termasuk olah raga karena tubuhku yang kurus selalu menang lari maratoh mengalahkaan teman-temanku saat pelajaran olah raga. Tapi sayang sekolah itu kini sudah beralih pungsi jadi SMP Negri yang jelas sangat membekas hingga kini.

Anak yang bodoh tapi aku suka membaca. Aku menyembunyikan buku dari perpustakaan sekolah buku IPA, PMP, IPS dan kesenian tiap hari tanpa lelah tanpa bosan baca buku itu-itu terus sampai ibu kesal menyuruhku mengembalikannya. Andai saja bakatku diasah mungkin hidupku tak seperti ini. Aku mengembalikannya setelah aku lulus walau nilainya kurang bagus

Suka menulis sejak usia baru lulus SD di tempat aku ngaji ada buku surat cinta khusus dari pria untuk wania yang di puja. Jika kalian membacanya pasti terbuai kata-katanya. Satu paragraf yang masih ku ingat. 

"Dinda surat balasamu telah kanda terima. Aku semakin terharu dan terbuai akan ketulusan jawabanmu. Semakin kebawah aku memacanya laksana kanda di ayun gelombang samudra. Bla bal.. jika dinda berkenan bertemu kebun binatang itu masih menunggu karena janji kita dahulu belum sepat terkabul." 
Sejak saat itu aku dapat uang jajan dua seratus rupiah. Setelah usiaku enam belas ongosnya naik jadi 300 rupiah tapi waktunya tidak lama karena harus ikut kaka ke jakarta. Di jakarta pun demikian aku di minta membuat surat oleh teman-teman ongkosnya naik jadi 5000 rupiah. Di jakarta bukan setingkat anak-anak lagi tapi usia dewasa dengan wajahku yang imut bertenan dengan mahasiwa. Aku dulu cantik, periang, gendut, berambut panjang. 
Usia sembilan belas tahun mulai ketahuan sakitnya yang mendadak kurus. 

 By: Seila

Sabtu, 30 Mei 2020

FAJAR DI CIHANJUANG